Kopi mulai dikenal di Indonesia semenjak tahun 1696 di zaman penjajahan Belanda, ketika itu Walikota Amsterdam, Nicholas Witsen, memerintahkan komandan pasukan Belanda di Pantai Malabar, Adrian Van Ommen, untuk membawa biji kopi ke Batavia. Kopi arabika pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat di timur Jatinegara, yang menggunakan tanah partikelir Kedawung yang kini lebih dikenal dengan Pondok Kopi. Beberapa waktu kemudian kopi arabika menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Banten, Priangan, hingga kemudian menyebar ke daerah lain, seperti Pulau Sumatra, Sulawesi, Bali dan Timor.
Tak lama setelah itu, kopi menjadi komoditi dagang yang sangat diandalkan oleh VOC. Ekspor kopi pertama dilakukan tahun 1711 oleh VOC, dan dalam kurun waktu 10 tahun ekspor meningkat sampai 60 ton/tahun. Karenanya, Hindia Belanda menjadi tempat perkebunan pertama di luar Arabia dan Ethiopia yang membuat VOC memonopoli perdagangan kopi dari tahun 1725 sampai 1780. Untuk mendukung produksi kopi, VOC membuat perjanjian berat sebelah dengan penguasa setempat dimana para pribumi diwajibkan menanam kopi yang harus diserahkan ke VOC. Perjanjian ini disebut koffiestelsel (sistem kopi). Berkat sistem ini pula biji kopi berkualitas tinggi dari tanah Jawa bisa membanjiri Eropa. Kopi Jawa terkenal di Eropa sehingga orang Eropa menyebutnya bukan secangkir kopi, melainkan secangkir Jawa.
Sistem perdagangan kopi terus berlangsung meskipun kemudian VOC dibubarkan dan Hindia Belanda diperintah oleh pemerintah Belanda. Ketika Hermann Willem Daendels (1762-1818) memerintah, ia membangun jalan dari ujung barat Jawa sampai ujung timur yakni Anyer-Panarukan. Tujuannya untuk memudahkan transportasi prajurit Belanda.
Penderitaan akibat koffiestelsel kemudian berlanjut dengan cultuurstelsel alias sistem tanam paksa. Melalui sistem tanam paksa yang diciptakan Johannes Van Den Bosch (1780-1844) ini, rakyat diwajibkan untuk menanam komoditi ekspor milik pemerintah, termasuk kopi pada seperlima luas tanah yang digarap, atau bekerja selama 66 hari di perkebunan-perkebunan milik pemerintah. Akibatnya, terjadi kelaparan di tanah Jawa dan Sumatra pada tahun 1840-an. Namun, berkat cultuurstelsel itu Jawa dan Lampung menjadi pemasok biji kopi terbesar di Eropa.
Kejatuhan kopi di Jawa dan Lampung dimulai ketika serangan penyakit kopi melanda pada tahun 1878. Setiap perkebunan di seluruh Nusantara terkena hama penyakit kopi yang disebabkan oleh Hemileia Vasatrix. Penyakit ini membunuh semua tanaman arabika yang tumbuh di dataran rendah. Kopi arabika yang tersisa hanyalah yang tumbuh di dataran tinggi lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut.
Untuk menyikapi serangan hama ganas tersebut, pemerintah Belanda kemudian menanam kopi liberika yang lebih tahan lama. Sayangnya, varietas ini tidak begitu lama popular dan juga terserang oleh hama. Lantas kopi robusta mulai diperkenalkan di Indonesia di awal 1900-an untuk mengganti kopi liberika dan arabika yang hancur lantaran hama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar